Setiap orang tua pasti bangga ketika anaknya mampu menembus kancah (Perguruan Tinggi), apalagi ketika masuknya ke Perguruan Tinggi berstatus Negeri. Bahkan anak itu sendiri juga bangga dari statusnya yang sebelumnya siswa menjadi “mahasiswa”. Namun perlu diingat bahwa ketika direnungkan dengan segenap kesadaran, sebutan mahasiswa itu terlalu berat untuk di sandang seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Akan tetapi hal tersebut sudah menjadi keniscayaan. Apalagi publik sudah memandang mahasiswa sebagai sosok yang mampu mengadakan perubahan. Agen of change (agen perubahan), iron stock (perangkat keras) serta moral force (kekuatan moral) senantiasa menjadi gelar yang harus dipinggul mahasisw
Perihal tersebut diperkuat data sejarah yang mencatat perjuangan mahasiswa. Mereka yang senantiasa berhimpun melalui sebuah gerakan. Ketika mencoba menengok sejarah, maka bisa diambil benang sample, bagaimana di tahun 1908 di dirikannya Boedi Oetomo di Jakarta, 20 Mei 1908, pelopornya diantaranya pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual. Di pertengahan tahun 1923 -1928 mahasiswa tampil melalui kelompok-kelompok studi yang dibangun pada waktu itu. Selanjutnya, perjalanan yang terus ditapaki di setiap waktu membuat mobilisasi pergerakan mahasiswa setiap dekade zaman dilekati karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda. Diantaranya banyak pula yang menjadikan Islam sebagai nafas perjuangannya. Terlihat seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di tahun 1947, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di tahun 1960. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di tahun1964, hingga Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada tahun 1998. Yang tampil untuk menjawab krisis moral dan intelektual. Semua gerakan tersebut notabene berada di wilayah ekstra kampus. Tidak ketinggalan peranan LDK (Lembaga Dakwah Kampus) serta lembaga yang dibangun mahasiswa di intra kampus dalam sejarah juga tercatat memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Yang pasti, seperti tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun seiring perjalanan, Reformasi (1998) yang menjadi ajang perlawanan dahsyat oleh mahasiswa masih menampakkan raport merah hingga kini. Dari situlah
kemudian menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab mahasiswa. Kemanakah langkah selanjutnya? Dan seperti apakah langkah tersebut?
Perihal tersebut diperkuat data sejarah yang mencatat perjuangan mahasiswa. Mereka yang senantiasa berhimpun melalui sebuah gerakan. Ketika mencoba menengok sejarah, maka bisa diambil benang sample, bagaimana di tahun 1908 di dirikannya Boedi Oetomo di Jakarta, 20 Mei 1908, pelopornya diantaranya pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual. Di pertengahan tahun 1923 -1928 mahasiswa tampil melalui kelompok-kelompok studi yang dibangun pada waktu itu. Selanjutnya, perjalanan yang terus ditapaki di setiap waktu membuat mobilisasi pergerakan mahasiswa setiap dekade zaman dilekati karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda. Diantaranya banyak pula yang menjadikan Islam sebagai nafas perjuangannya. Terlihat seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di tahun 1947, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di tahun 1960. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di tahun1964, hingga Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada tahun 1998. Yang tampil untuk menjawab krisis moral dan intelektual. Semua gerakan tersebut notabene berada di wilayah ekstra kampus. Tidak ketinggalan peranan LDK (Lembaga Dakwah Kampus) serta lembaga yang dibangun mahasiswa di intra kampus dalam sejarah juga tercatat memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Yang pasti, seperti tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun seiring perjalanan, Reformasi (1998) yang menjadi ajang perlawanan dahsyat oleh mahasiswa masih menampakkan raport merah hingga kini. Dari situlah
kemudian menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab mahasiswa. Kemanakah langkah selanjutnya? Dan seperti apakah langkah tersebut?



0 komentar:
Posting Komentar